Mengenang Ronaldinho

Ronaldinho061115.jpg
Sebagai pecinta Serie-A di awal tahun 2000-an, saya sungguh tidak tertarik dengan liga-liga Eropa lainnya. Apakah itu Liga Spanyol ataupun Liga Inggris. Padahal di kedua liga ini banyak juga pemain-pemain hebat bercokol. Tak kalah dengan Lega Calcio.
Tapi kemudian saya mulai sedikit membuka mata. Semua bermula pada tahun 2004.
Di Spanyol yang sudah berisikan pemain hebat macam Zinedine Zidane, Ronaldo, Roberto Carlos, hingga Figo, tiba-tiba muncul seorang bintang dari klub asal Catalan, Barcelona. Pria ini berasal dari Brasil, tempat lahirnya bintang besar sepak bola. Dia juga sempat dikenal sebagai salah satu pemain penting Selecao di Piala Dunia 2002.
Saya kira semua bisa menebak, siapa gerangan yang saya maksud. Orang itu adalah Ronaldo Assis de Moreira alias Ronaldinho.
Kalau saya ingat masa itu, saya sebetulnya agak kasihan dengan Barcelona. Real Madrid jelas tim yang paling ditakuti sejagat. Sedangkan El Barca cuma tim yang untuk sekedar bermain di Liga Champion saja keseok-seok. Bahkan berhadapan dengan Valencia dan Deportivo La Coruna pun masih kalah.
***
Desember tahun 2004 tsunami menerjang Aceh dan sekitarnya. Pada bulan itu juga, Ronaldinho terpilih sebagai pemain terbaik dunia FIFA. Apakah prestasi orang ini? Mengapa Andry Shevchenko—peraih Ballon d’Or di tahun yang sama—atau Deco yang lebih mentereng, kalah? Ronaldinho bahkan tidak meraih satu trofi penting pun.
Tapi saya masih ingat salah satu alasan yang diberikan saat itu: Ronaldinho mampu membuat perubahan besar dalam permainan Barcelona. Ini tentu tidak lazim karena pemain terbaik dunia edisi terdahulu diberikan kepada bintang-bintang yang membawa juara klub atau timnas yang dibelanya.
Mungkin inilah salah satu mukjizat sepak bola. Kapten dan pelatih timnas—yang memilih pemain terbaik—telah disihir oleh aksi seorang Ronaldinho. Mereka memilih bukan karena prestasi, bukan pula karena kegarangan mencetak gol. Tapi karena jatuh cinta sama tarian sepak bola anak Brasil ini.
Kemudian pada Januari 2005, Ronaldinho dan Sheva diadu dalam sebuah laga amal dibuat untuk korban tsunami. Jika tim Sheva diperkuat pemain-pemain Eropa, tim Ronnie berisikan wakil semua benua. Hasilnya: tim dunia menang.
Apakah ini pertanda Ronaldinho lebih baik dari peraih Ballon d’Or 2004 itu? Mungkin tidak sepenuhnya, karena itu bukan pertandingan resmi. Tapi siapapun tahu bahwa tahun 2005 menjadi miliknya. Barcelona dibawanya menjadi juara Liga Spanyol untuk pertama kali semenjak tahun 1999. Sedangkan di level timnas, Brasil diantar meraih trofi Konfederasi setelah mengalahkan Argentina dengan skor 4-1 di final.
Desember 2005, mantan pemain PSG ini pun membuktikan kebintangannya. Kali ini dia mengawinkan gelar pemain terbaik dunia dengan Ballon d’Or. Sempurna, itulah kata yang pantas untuknya. Tapi sebelum meraih prestasi itu, Barcelona pun bisa berdiri gagah di hadapan musuh abadinya di Liga Spanyol. Tidak hanya dalam gelar, tapi juga secara head-to-head.
Pertemuan perdana dengan Madrid di Bernabeu berakhir memalukan buat tuan rumah. El Barca menaklukkan lawannya itu tiga gol tanpa balas. Bintang pertandingan tak lain adalah Ronaldinho sendiri. Dua gol dari solo run kiri lapangan membuat Iker Casillas tertunduk lesu. Dalam laga itu muncul adegan bersejarah: Ronaldinho mendapat applaus dari pendukung tuan rumah. Konon ini kali kedua yang diberikan kepada pemain lawan setelah Maradona.
Melihat aksi-aksinya di lapangan, mungkin benar bahwa pemilihnya tahun 2004 telah tersihir. Julukan “One Man Show” pun disematkan padanya. Dia memang seolah bermain sendirian, meski di tim itu ada Deco dan Samuel Eto’o. Ronaldinho membawa bola, Barcelona pun menang.
Tahun 2006 pun masih milik pemain gimbal ini. Malah lebih hebat. Stade de France yang pada 1998 memupuskan mimpi Brasil di Final Piala Dunia, tidak berlaku baginya. Dia menghapus trauma itu setelah menjuarai Liga Champion yang partai finalnya diselenggarakan di sana. Arsenal sang lawan takluk 2-1. Duo Prancis di Arsenal, Thierry Henry dan Arsene Wenger, sedih. Mungkin ini bisa mewakili pembalasan dendam Brasil atas Prancis.
Gelar Champion ini adalah trofi pamungkas. Sebab di liga Spanyol, tim ini menyabet juara secara beruntun. Tahun 2006 adalah tahun di mana Zinedine Zidane mengakhiri karier.
Tahun 2006 juga tahun penting karena ada Piala Dunia. Juara bertahan Brasil pun percaya diri. Setahun sebelumnya mereka juara Konfederasi dan tentu saja: diperkuat pemain terbaik dunia. Nomor punggung 10 menjadi penegas bahwa inilah bintang Brasil. Sedangkan bintang empat tahun lalu Ronaldo, pemain utama Milan Kaka, hanya menjadi bayang-bayangnya.
Tapi semua harapan itu sirna. Tanah Jerman  membawa sial bagi kariernya. Tidak ada gol yang dibuat. Malah Ronaldo yang bisa cetak tiga gol untuk menjadikannya pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia. Sinarnya  sejak awal meredup. Terbukti, Brasil tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan Prancis di babak perempat final.
Sebuah gol Thierry Daniel Henry dari umpan tendangan bebas Zidane menjadi momen pembalasan atas kekalahan di final Liga Champion Eropa. Di akhir laga, Brasil meratap, sedangkan Prancis pesta pora. Henry sang pahlawan Prancis sempat memuji lawannya itu. “Football is Brazil, Brazil is football,” katanya. Sebuah pujian yang tak sedikitpun bisa mengobati hati orang-orang Brasil.
Siapa yang wajib disalahkan? Ternyata semua telunjuk mengarah pada Ronaldinho. Tidak hanya umpatan. Di daerah kelahirannya, Porto Alegre, patung perunggu yang dibuat untuk menghormatinya, dihancurkan oleh pendukung Brasil. Mungkin bagi mereka sudah jelas: persetan dengan gelar di klub dan prestasi individu, bagi kami trofi Piala Dunia adalah segalanya.
Orang Brasil menunjukkan ciri sosialisnya. Kehebatan individu diukur buat diberikan bagi negara, bukan untuk diri sendiri atau klub, apalagi klub asing. Padahal empat tahun lalu Ronnie sudah memberi trofi buat rakyat Brasil. Tapi, semudah orang berekspektasi, semudah itu pula mereka melupakan.
***
Inilah memang ironi seorang “one man show”. Dan itu tidak berlaku hanya di tingkat negara, di klub tempatnya berjasa pun begitu. Musim 2006/2007 Ronaldinho masih tampil lumayan. Barcelona tidak meraih gelar di Spanyol atau Eropa. Madrid yang dilatih Capello jelas beruntung meski tidak tampil luar biasa. El Real juara di akhir musim meski memiliki nilai yang sama dengan Barcelona di peringkat kedua. Ini akibat sistem liga Spanyol yang menghitung peringkat berdasar head-to-head. Barca takluk di Bernabeu dua gol tanpa balas. Sedangkan di Nou Camp, kedua tim tampil imbang 3-3.
El Clasico di Nou Camp ini menjadi saksi lahirnya bintang masa depan Barcelona. Tiga gol itu dilesakkan oleh pemain yang belum genap berusia dua puluh tahun. Dia produk asli akademi Barcelona dan berasal dari Argentina. Bocah ini bernama Lionel Andres Messi!
Ronaldinho pun kian tenggelam. Musim 2007/2008 menjadi tahun petaka buat dirinya. Kesukaannya keluyuran membuat Barca tampil melempem. Barcelonistas pun mengutuknya sebagaimana orang Brasil tahun 2006. “Pergi saja ke Milan!” kata pendukung Barcelona untuk orang yang berjasa bagi mereka itu.
Terbukti memang, Ronnie meninggalkan Barca untuk berlabuh di San Siro. Manajemen El Barca mengadakan bersih-bersih. Franck Rijkaard diganti Pep Guardiola. Pelatih baru ini pun membuang serta Deco de Souza. Konon, kedua bintang ini hanya membuat gaduh kamar ganti.
Cerita tentang Ronaldinho pun makin menghilang. Sihirnya tidak berlaku di Milan. Bahkan kalah dengan Kaka. Padahal di akhir musim, Barcelona meraih hasil yang sensasional, trebel winner. Dan ini diraih tanpa Ronaldinho! Anak emas Nou Camp berpindah ke kaki Lionel Messi, orang yang telah menganggapnya sebagai kakak! Nomor 10 juga diberikan pada pemain kelahiran 1987 ini. Bahkan Messi pun mengikuti selebrasi ala Ronaldinho ketika mencetak gol. Messi seolah berterima kasih atas bimbingan sang kakak!
Kisah tentang Barcelona kemudian terkait erat dengan Messi. Prestasinya lebih mentereng baik di klub maupun level individu. Messi bahkan melampaui capaian dua gelar pemain terbaik dunia yang dipunyai Ronaldinho.
Sedangkan di saat yang sama tidak ada yang bisa diberikan Ronnie di Milan. Bahkan ia pun terusir dari Eropa dan pulang kampung ke Brasil. Di Flamenggo, kehebatannya sempat muncul dan bahkan dipanggil ke timnas. Tapi yang pasti tidak seperti masa jayanya.
***
Keadaan ini pun membuat orang mulai bertanya. Hebat mana, Messi atau Ronaldinho?
Deco de Souza pernah bilang bahwa Messi lebih baik. Menurutnya, seperti pernah diberitakan kompas.com, Messi itu gabungan Romario, Ronaldo, dan Ronaldinho. Tiga orang mewujud dalam satu tubuh.
Di saat Messi disejajarkan dengan legenda Pele dan Maradona, Ronaldinho sendiri belum pernah disandingkan dengan kedua megabintang ini. Seolah Ronaldinho dilahirkan untuk masa kini sedangkan Messi untuk masa lalu, kini, dan masa akan datang! Berlebihankah?
Adalah sulit membandingkan dua orang dengan tolak ukur yang berbeda. Ada yang bilang trofi, ada juga yang melihat kemampuan. Bagi saya, siapa yang terbaik ditentukan oleh apa yang diberikan seorang pemain untuk sepak bola. Abstrak? Mungkin.
Sebagai non-barcelonistas, melihat Barcelona era Ronaldinho dan Messi, saya merasakan hal yang bertolak belakang. Barcelonanya Ronnie sangat saya nantikan, Barcelonanya Messi saya acuhkan. Barcelonanya Ronnie memberi rasa penasaran; sedangkan Barcelonanya Messi mudah dilogikakan.
Seorang Ronaldinho bermain dengan keindahan tiada tara. Sebaliknya Messi membuat sepak bola bagai olahraga atletik. Ronaldinho membuat banyak orang terhibur; sedangkan Messi membuat sepak bola membosankan. Ronaldinho masih bisa memberi senyum pendukung lawan yang kalah; sedangkan Messi terlanjur membuat suporter musuh menyiapkan tisu sedari awal.
Seorang Ronnie adalah pribadi yang ekspresif bahkan bisa menangis, tapi rona wajah Messi nyaris tanpa ekspresi. Ronaldinho membuat orang menjadi pemaaf, sedangkan Messi tampak bagai malaikat tanpa cacat.
Intinya, Messi membuat sepak bola menjadi olahraga robot sedangkan Ronaldinho membuatnya tampak manusiawi. Ronaldinho membuat sepak bola tampak hidup, namun seolah menjadi jasad lewat kaki Messi.
Mungkin banyak orang tak setuju dengan parameter yang saya buat. Setiap orang tentu saja punya penilaian masing-masing. Bisa saja secara skill Ronaldinho lebih hebat sedangkan Messi lebih mematikan di depan gawang. Atau juga perbandingan di level nasional di mana Ronnie berhasil membawa negaranya juara Piala Dunia, juara Piala Konfederasi, dan juara Copa Amerika—lengkap untuk level timnas. Sedangkan Messi hanya membawa pulang emas Olimpiade 2008 yang di babak semifinal mengalahkan Brasil yang diperkuat Ronaldinho.
Tapi sepak bola bukan hanya soal prestasi. Prestasi hanya akan terpatri di kepala pendukung sebuah klub atau timnas. Lebih utama adalalah sepak bola harus mampu memberi sensasi bagi siapa saja termasuk yang bukan pendukung sebuah tim. Dalam konteks inilah penilaian bisa melampaui subyektifitas.
Menyaksikan penampilan kedua pemain semenjak dulu, saya hanya bisa mengatakan satu hal: Jika Messi hanya memberi kemenangan, maka Ronaldinho menyuguhkan sepak bola.
Ronaldinho memang lebih baik! 

Source : http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/01/24/mengenang-ronaldinho-433472.html
Previous
Next Post »